Putih, kecil, dan imut, itu kesan pertama yang kudapat pada dirinya ketika dulu duduk sebangku denganya disebuah SD impres di kota kelahiranku Jakarta. Rambutnya pirang, pendek berponi, bak karakter Dora. Juga Matanya yang agak sipit, seperti dua saudaranya yang lain Rino dan Riki. Shinta, begitu kami memanggilnya, gadis kecil yang suka sekali ikut dalam petualangan kami, aku, amat dan epen,. Bahkan saat kami berburu cicak lepas malam bbrapa waktu itu. Ia dengan rengekan khasnya, memaksa, ingin ikut ''Liinnnoo .., ikkiii ikut,,, ikutt'' sambil menarik-narik baju keduanya, begitu, dan banyak hal lagi. Dan kalau sdah begitu Rinolah orang yang paling tak tega, dan mau tak
mau harus mengajaknya. Dengan satu syarat kalau ia tidak boleh rewel apalagi sampai menangis, ketika ikut dengan kami, dan yang paling penting dia tak boleh bilang kepada bibi mereka Ci Amoy, tentang apa yang sudah kami lakukan hari itu.
Seperti kejadian beberapa hari lalu yang aku ceritakan padamu
kawan, saat kakakku Amat berebut Termos dan Rantang nasi dengan Riki kakaknya
yang ingusan itu, dengan semangatnya ia betepuk tangan, bersorak kegirangan,
sambil sesekali tertawa kecil dengan riangnya. Dan hal yang terakhir yang
kupikirkan saat itu ia tersenyum lepas bahkan mungki tertawa sambil
menepuk-nepuk rantang nasi plastik yang didapatkan Riki kakaknya. Saat kami
mencari receh demi receh uang logam drumah kosong untuk kami belikan ice cream,
saat kami bermain petak umpat dan bersembunyi didalam rumahnya. Mencari ikan
Guppy hingga riki hampir tercebur masuk kekolam ikan. Memetik belimbing pa haji
ahsan dengan sembunyi-sembunyi. Semua itu kami lakukan tanpa sepengetahuan Ci
Amoy dan orang tua kami.
Shinta usianya tak jauh berbeda denganku, mungkin hanya terpaut
satu tahun lebih muda.Ia juga terlahir dari keluarga sederhana pinggiran kota
ibu kota seperti kami. Rumahnya berdempetan dengan rumahku, dalam kondisi yang
sama pula, bedanya kalau dirumahku bayak dipasang lampu sebagai penerangan namun
tidak dirumah dia, jarang sekali kulihat ada penerangan didalam rumahnya jika
ku masuk kedalam, yang sering kulihat hanyalah sepasang lilin berhiaskan foto
kakek tua di tengahnya, didepannya disediakan beberapa kueh dan buah-buahan dan
tiga batang dupa yang dibakar, menimbulkan aroma harum, semerbak disekeliling
rumah. Ia adalah satu-satunya anak perempuan yang selalu ikut dalam petualangan
kami.
Kupikirkan kini ia tlah tumbuh dewasa sama sepertiku, mungkin
usianya saat ini 24 tahun, berkulit putih, tingginya mungkin 165cm, rambut
Bondol pirang berponi, mata lentik naun tetap dengan khas orang tionghua
kebayakan. Bertengkar dengan Riki seperti saat berebut bubur sum-sum dulu. Dan
kupikirkan hobinya mungkin traveling, mengunjungi kota-kota sederhana namun
misterius, menjelajah tiap jengkal yang ia kehendaki, mendaki gunung dengan
topi, tas ransel dan tongkat penjelajah, atau sebaliknya ia tumbuh lebih modis
dengan tamppilan elegan nan kasual, seperti Ci Bobon ibunya yang sering dan
suka berdandan, menjadi model majalah atau surat kabar, aku tak tau., karna
nasib dan penggusuran atas rumah dipinggiran kota dulu sangat menyakitkan
buatku, saat aku harus kehilangan beberapa sahabat petualang terbaik,
kehilangan ia yang dulu sempat duduk sebangku beberapa hari di sekolah. Namun
bayang mereka terkadang hadir, mengajakku bermain dan berpetualang kembali
kemasa lampau, jauh dari keadaanku sekarang. Dan shinta, kulihat senyumnya
terus mengembang, karna berhasil diajak oleh Rino untuk ikut dalam petualangan
kami Selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar