Minggu, 07 Juni 2015

Shinta


Putih, kecil, dan imut, itu kesan pertama yang kudapat pada dirinya ketika dulu duduk sebangku denganya disebuah SD impres di kota kelahiranku Jakarta. Rambutnya pirang, pendek berponi, bak karakter Dora. Juga Matanya yang agak sipit, seperti dua saudaranya yang lain Rino dan Riki. Shinta, begitu kami memanggilnya, gadis kecil yang suka sekali ikut dalam petualangan kami, aku, amat dan epen,. Bahkan saat kami berburu cicak lepas malam bbrapa waktu itu. Ia dengan rengekan khasnya, memaksa, ingin ikut ''Liinnnoo .., ikkiii ikut,,, ikutt'' sambil menarik-narik baju keduanya, begitu, dan banyak hal lagi. Dan kalau sdah begitu Rinolah orang yang paling tak tega, dan mau tak
mau harus mengajaknya. Dengan satu syarat kalau ia tidak boleh rewel apalagi sampai menangis, ketika ikut dengan kami, dan yang paling penting dia tak boleh bilang kepada bibi mereka Ci Amoy, tentang apa yang sudah kami lakukan hari itu.
Seperti kejadian beberapa hari lalu yang aku ceritakan padamu kawan, saat kakakku Amat berebut Termos dan Rantang nasi dengan Riki kakaknya yang ingusan itu, dengan semangatnya ia betepuk tangan, bersorak kegirangan, sambil sesekali tertawa kecil dengan riangnya. Dan hal yang terakhir yang kupikirkan saat itu ia tersenyum lepas bahkan mungki tertawa sambil menepuk-nepuk rantang nasi plastik yang didapatkan Riki kakaknya. Saat kami mencari receh demi receh uang logam drumah kosong untuk kami belikan ice cream, saat kami bermain petak umpat dan bersembunyi didalam rumahnya. Mencari ikan Guppy hingga riki hampir tercebur masuk kekolam ikan. Memetik belimbing pa haji ahsan dengan sembunyi-sembunyi. Semua itu kami lakukan tanpa sepengetahuan Ci Amoy dan orang tua kami.
Shinta usianya tak jauh berbeda denganku, mungkin hanya terpaut satu tahun lebih muda.Ia juga terlahir dari keluarga sederhana pinggiran kota ibu kota seperti kami. Rumahnya berdempetan dengan rumahku, dalam kondisi yang sama pula, bedanya kalau dirumahku bayak dipasang lampu sebagai penerangan namun tidak dirumah dia, jarang sekali kulihat ada penerangan didalam rumahnya jika ku masuk kedalam, yang sering kulihat hanyalah sepasang lilin berhiaskan foto kakek tua di tengahnya, didepannya disediakan beberapa kueh dan buah-buahan dan tiga batang dupa yang dibakar, menimbulkan aroma harum, semerbak disekeliling rumah. Ia adalah satu-satunya anak perempuan yang selalu ikut dalam petualangan kami.
Kupikirkan kini ia tlah tumbuh dewasa sama sepertiku, mungkin usianya saat ini 24 tahun, berkulit putih, tingginya mungkin 165cm, rambut Bondol pirang berponi, mata lentik naun tetap dengan khas orang tionghua kebayakan. Bertengkar dengan Riki seperti saat berebut bubur sum-sum dulu. Dan kupikirkan hobinya mungkin traveling, mengunjungi kota-kota sederhana namun misterius, menjelajah tiap jengkal yang ia kehendaki, mendaki gunung dengan topi, tas ransel dan tongkat penjelajah, atau sebaliknya ia tumbuh lebih modis dengan tamppilan elegan nan kasual, seperti Ci Bobon ibunya yang sering dan suka berdandan, menjadi model majalah atau surat kabar, aku tak tau., karna nasib dan penggusuran atas rumah dipinggiran kota dulu sangat menyakitkan buatku, saat aku harus kehilangan beberapa sahabat petualang terbaik, kehilangan ia yang dulu sempat duduk sebangku beberapa hari di sekolah. Namun bayang mereka terkadang hadir, mengajakku bermain dan berpetualang kembali kemasa lampau, jauh dari keadaanku sekarang. Dan shinta, kulihat senyumnya terus mengembang, karna berhasil diajak oleh Rino untuk ikut dalam petualangan kami Selanjutnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;