Minggu, 09 November 2014

Kebakaran : Bagian 1


Malam… Hening, gelap, dingin , hitam, dan pekat. Rembulan Separuh terbias dari kehampaannya sesekali ia terbalut awan mendung hingga hilang sebagian dari keindahannya, menggoda. Ribuan bingtang yang biasanya bertaburan membentuk rasi, menghilang ditelan awan. Langit kelabu serta desiran angin malam itu sangat ku rasakan ketika tengah berada dalam pelukan kakakku. Beningnya airmata yang tertusuk udara beku malam itu, terasa begitu dingin dipipiku,. Aku menangis ketakutan, dari kejauhan sana kulihat cahaya jingga kemerahan membumbung tinggi, memenuhi hampir separuh langit kelabu. Beberapa kali terdengar suara Sirine nyaring dari kejauhan yang entah datang darimana, kadang membesar, kadang mengecil, kadang timbul, kadang tenggelam, entah ini sudah yang keberapa kalinya kudengar. Orang-orang dewasa berbondong-bondong menyelamatkan diri dan barang berharga milik mereka, berbuntal-buntal pakaian, televise, tape radio, sampai anak-anak mereka
semuanya kecuali rumah mereka yang tak bisa mereka bawa. Situasiku malam itu sangat buruk, kami diungsikan demi keselamatan kami. Kak yanah setia memelukku, udin berada dalam gendongan kak Nung, sementara Amat, Epen, dan kak Santi, duduk, mengamankan barang bawaan kami. Para tetanggaku pun turut hadir disitu, Sauki, Jiah, Astri, nama-nama dari anak sebayaku yang ku tau,juga diungsikan demi keselamatan mereka. Tak ada satupun dari kami yang tersenyum, semua merasa ketakutan., dan berharap malam kelabu ini segera berakhir.

Musibah, datang tidak memilih-milih kepada siapa yang ditimpa, si kaya atau si miskin, si jahat atau si baik, dia datang bisa sebagai ujian, cobaan, atau bahkan azab yang Allah berikan untuk orang-orang yang zalim. Objeknya tak ditentukan, bisa manusia, hewan, tumbuhan, gedung, hingga kendaraan. Waktunya pun tak bisa dipilih-pilih dan semau-maunya ia datang ,bisa pagi, siang, sore, malam, hari ini, esok lusa, minggu ini, bulan depan, atau tahun depan tak ada yang tau. Tetapi bukan karena kebetulan hal itu terjadi, bahkan daun yang jatuh dari tangkainya pun sudah dituliskan. Pun dengan ruko bahan pokok yang berada diseberang jalan sana, tak ada yang pernah tau nasibnya. Dan malam itu sebuah musibah menimpa dirinya, dan nasibnya telah dituliskan bahwa ia akan terbakar hangus malam itu.

Tidur lelapku dirumah yang baru kami tempati beberapa bulan, terganggu oleh teriakan tetangga yang memanggil-manggil nama ibuku, “Sun.. sunn…” ucapnya panik, aku terbangun, samar-samar suara itu terdengar kembali olehku, beserta beberapa ketukan pintu yang terdengar memaksa untuk segera dibuka.. “Tookk..ttookk..ttookk…ttookk… Suunn.. suunn..” ayah bangkit, menyalakan lampu, dan membuka pintu “Kenapa bu Haji..?” Tanya ayah, rupanya yang datang pada malam itu adalah bu Haji Hamidah, tetanggaku. “Kebakaran..” aku masih belum mengerti apa yang telah terjadi.. “Kebakara..!!! dimana?” Ayah berteriak.. “Di depan, cepet kemas-kemas.. takut apinya sampe kemari..” ucap bu Haji Hamidah, “Astagfirullah.. makasih bu haji..” ucap ayah penuh kepanikan, “Ya udah gue juga mau ngungsi, cepet dah lu sama keluarga lu kemas-kemas” ucapnya dan langsung pergi meninggalkan halaman rumah kami dengan terburu-buru. Seketika ayah langsung membangunkan ibuku, dan semua anggota keluargaku yang ada disana, termasuk kak yanah yang kebetulan malam itu tinggal dirumah kami. “Cepetan bawa yang lain pergi, baba sama ema mau rapihin baju sama yang lain dulu, nanti baba nyusul” suasana gaduh mulai terasa malam itu. Kulihat jam dinding yang diam termangu , dua buah jarumnya menunjuk kearah angka dua, sementara jarum yang lebih panjang menunjuk ke angka sepuluh “ini masih jam dua, memangnya ada apa?” tanyaku yang masih belum mengerti keadaan malam itu. “Oman pegang tangan po yanah ya, jangan dilepasin,” pinta kak santi padaku “Emang ada apa po??” tanyaku balik “didepan ada kebakaran, kita harus pergi. Udah oman jangan nanya dulu, pegangan sama po yanah” pintanya padaku, dan langsung saja ku genggam tangan kak yanah kuat-kuat. Suara gemuruh dari teriakan warga sekitar juga belum reda “Kebakaran.. kebakaran… “ yang lain ada juga yang berteriak “Apii.. apii..” aku belum mengerti , tapi jelas ketika ku tatap keluar, langit hitam berubah menjadi merah jingga pekat, dihiasi asap hitam yang ,mengepul tinggi. “Astagfirullah halazim.. Nung, ii, amat, epen, udah siap semua belom, cepet.. apinya makin gede.. bawa buntelan bajunya.. cepet” Kak yanah menjerit histeris “Nung,, udin tolong digendong ,,cepet…” kak yanah makin histeris, entah apa yang saat itu kami rasakan, panic, bingung, takut, marah dan sedih jadi satu. Berbaur hingga tak terpikirkan lagi bagi kami untuk sempat memakai alas kami, yang kami lakukan saat ini hanya berlari keluar, menyelamatkan diri, seperti semut anai-anai yang sarangnya sedang diserang. Sauki, jiah, astir dan adiknya anggi juga ikut berlari. Para orang dewasa hilir mudik kesana-sini, dan kebanyakan dari mereka membawa ember berisikan air, rambut, wajah, dan baju serta celana mereka basah dan belepootan, tak beralas kaki seperti kami, Hawa panas sedikit menyengat di wajah-wajah lesu kami yang terbangun lebih pagi. “Oman jangan liat kebelakang ya,..” larang kak yanah padaku, namun semakin ia melarangku semakin penasaran aku dibuatnya, dan jika sudah begitu tak ku dengar lagi ucapannya dan kupalingkan wajahku kebelakang “Astagfirullah…” lirihku dalam hati ketika tepat kulihat diseberang sana kepulan asap dan raungan api yang membumbung tinggi, menyelimuti permukaan langit kelabu. Penampakan Nyala Api yang terbesar yang pernah aku lihat, lebih besar dari Nyala Tabunan yang dilakukan ayah saat membakar tumpukan sampah yang berada tak jauh dari rumah kami. Tubuhku bergetar, merinding ketakutan, langkah ku percepat takut kalau api itu sampai mengenaiku dan kakak-kakakku.

Pancaran Api masih terlihat membumbung tinggi kemerahan, memakan sebagian awan kelabu dipermukaan langit kampung tempat kami tinggal. Anak-anak menangis, termasuk aku, rasa takut terus menyelimuti , tak mau lepas dari tubuh kami. Beruntung lapangan dekat musholah itu letaknya cukup jauh, hingga tak terasakan lagi hawa panas dari Tragedi Kebakaran itu. “Alhamdulillah, kita aman disini, oman jangan jauh-jauh ya..” pintanya, dan kali ini harus aku turuti, karna aku tak mau tragedi di Kebun Binatang Ragunan terulang, saat aku harus terpisah oleh mereka, seperti yang dulu aku ceritakan padamu kawan. Maka ku genggam betul tangan kak yanah, dan tak kulepaskan pelukanku. Pun dengan airmata yang terus menetes, mulutku menggigil , takut kalau hal buru’k akan menimpa orangtuaku yang tak ikut bersama kami. “Emak, baba gimana po, ko gak ada disini???” tanyaku, berharap mendapat jawaban yang bisa menenangkan kepanikan kami. “Emak sama baba gak apa-apa, Oman ga usah takut,, udah.. cep..cep..” belaianya seperti biasa menghangatkan, namun airmata ini masih tak bisa aku bendung. Kami berharap, cemas, berdoa, berharap api tak sampai menyebrangi jalan, karna kalau saja itu terjadi, maka puluhan rumah akan habis dalam sekejap, temasuk rumah kami. Malam kelabu, bulan mengumpat dibalik awannya, seketika ku rasakan tetes tetes dingin turun dari lagit, butir-butirannya sedikit menenangkanku, “gerimis” ucapku, “Alhamdulillah..” ucap kak santi dan yang lain, ketika mendengan suara sirine yang keras dan terus bermunculan. Mobil pemadam kebakaran muncul tepat setelah sepuluh menit kami duduk termangu, jumlahnya ku taksir lima buah. Seketika raut wajah kami beerubah, dari yang masam menjadi ceria, bayang-banyang akan api menyala, rumah terbakar, dan atap yang hangus sirna begitu saja, dan butir-butir gerimis yang membasahi kami ini, kami aggap sebagai berkah dan rasa syukur, berharap dari tetesan-tetesan kecil itu bisa memadamkan api yang mengamuk menyala diseberang sana. Belaian hangat terus ia lakukan padaku, menghilangkan rasa lelah setelah baeradu lari dengan para pengungsi yang lain saat melarikan diri dari amukan api. Hingga akhirnya aku terlelap dipangkuannya, terbuai oleh angin yang masuk meresap bersama dengan tetesan gerimis dimalam kelabu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;