Jumat, 12 Juni 2015

Mt.Prau : Bagian 4



Kupandang ia sebagai Ciptaan-Nya yang tertinggi di Bumi Ini, wajah kuhadapkan keatas dan ternganga-melihat jalur itu, “Apa ku bisa melaluinya”. Namun kakiku terus memaksa dan terus saja melangkah mengikuti jejak beberapa orang yang lebih yang ada didepanku. Tak peraya,” inikah yang harus aku hadapi”ucap ku kembali dalam hati. Puluhan anak tangga yang terbentuk dari tanah itu sungguh menyulitkan kami, khususnya aku, selain licin karena diguyur hujan beberapa waktu lalu, bentuknya yang berundak-undak ditambah juga dengan beban yang menggelayut dipundakku sehingga beberapa kali sempat membuat badanku condong kebelakang  dan hampir terjatuh. Kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal karena disisi kiri kami adalah tebing yang curam dan Cuma di jaga oleh seutas tali, tak terbayangkan jika aku terpeleset, dengan beban berat yang bisa membawaku terseok kedalam jurang itu, maka dengan sangat hati-hati ku langkahi anak tangga tanah itu sambil sesekali berpegangan pada tali-temali yang dijadikan pembatas serta alat bantu bagi para pendaki untuk melintasi anak tangga yang licin itu.  Mungkin hal inilah
yang dikatakan Tio temanku bahwa apapun bisa terjadi dialam, kita tak pernah tau alam akan berbuat apa pada diri kita. Maka tak terpikirkan olehku, dan  sungguh sangat pedih perjalanan yang kulaui untuk pendakian pertamaku ini. “tujuan dari pendakian ini adalah untuk pulang” begitu ujarnya menghibur kami, aku terhenyak dan sedikit berfikir, “benar juga apa yang dia katakana, pulang adalah tujuan akhir dari perjalanan kami” ucapku dalam hati.

 Lumpur tanah yang licin masih terus kami tempuh, anak-anak tangga itupun masih tetap siaga untuk disinggahi oleh tapakan para pendaki, beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki yang turun dari pendakian mereka. Tersenyum dan saling sapa, hanya itu yang kami lakukan. Sepatu Skets yang sedari tadi kupakai sudah terasa begitu berat, karena bagian bawahnya sudah terisi padat dengan tanah dan beberapa helai rumput yang menempel, berjejalan disetiap sudutnya, ingin rasanya ku berhenti untuk sekedar membersihkan tanah-tanah itu, namun rasanya tanggung karena tinggal sedikit lagi anak tangga yang harus ku lewati, dan yaapppp, kami berhasil melewati lintasan berlumpur itu, segera ku duduk untuk beristirahat sejenak , membuka sepatu, dan membersihkan bagian bawah yang tertutup tanah dengan batang pohon. Haappp… sepatuku ringan kembali. Jika dipikir ulang, Aku dan beberapa orang temanku yang lain masih bisa dibilang beruntung karena kami hanya membawa barang pribadi keperluan kami, karena berbeda dengan teman dari Tio  yang  harus membawa beban tambahan berupa tenda dan alat untuk masak yang mungkin berat bebannya bisa dua kali lipat dari milik kami.  Waaaww.. luar biasa mereka.

Hingga akhirnya aku disini, ditanjakan bebatuan itu, lumpur tanah berhasli ku lalui, jalur licin berhasil kujinaki,  namun di tanjkakan bebatuan ini aku jatuh terkulai, lelah dan sesak, nafasku terus diburu. Pandangan mataku terasa gelap,sendi-sendi kakiku tak terasa hingga sempat keram dibagian betis dan jemari kakiku,  tas ransel yang membelengguku selama ini tak ku pikirkan lagi keberadaannya karena ia sudah kubuang jauh-jauh. Seketika ku ambil obat sesak nafas yang ada didalam kantung jas hujanku, dan langsung meminumnya “Hoosshh.. hoosshh.. hoosshh..” nafasku terengah-engah.. ingin ku menyerah dan menyudahi perjalanan ini.Namun kawan  jika kubayangkan wajahnya, jika ku ingat lagi senyumnya, ada tenaga magis yang masuk dalam tubuh, bahkan kepersendianku. Bukankah ia yang selama ini menyemangatiku, hingga aku tak menyerah untuk menunggu, ia yag berkata kalau aku tak sendiri, hingga aku masih tegak berdiri.  Aku kemudian bangkit dari rebahku , kaki kuluruskan, nafas dan detak jantung mulai kurapikan, ku tarik nafas panjang “Haaaapppppppppp……..” ku buang perlahan “Ffffuuuuuuuuuuuuhhhhhhhh…” setelah melakukannya beberapa kali  mereka pun berdamai, namun mataku masih terpejam, keringatku bercucuran, dingin, “Hooosssshh.. hooossshhh…”  Tak lama kak Iswandi mendekat, tersenyum “Ayo akhi.. antum bisa, antum kuat, mereka sudah diatas, kita harus menyusul mereka, sedikit lagi, kita akan sampai di pos pertama” ujarnya sambil tersenyum. Kubuka mataku, dan ikut tersenyum, “ya kak, Bismillah, ayo kita maju lagi” ucapku singkat, kak Iswandi membantuku , untuk bangkit dan kembali bergerak, seraya berjanji untuk mengalahkannya. Tebing bebatuan it.

Bersambung.....

0 komentar:

Posting Komentar

 
;