Kupandang ia sebagai Ciptaan-Nya yang
tertinggi di Bumi Ini, wajah kuhadapkan keatas dan ternganga-melihat jalur itu,
“Apa ku bisa melaluinya”. Namun kakiku terus memaksa dan terus saja melangkah
mengikuti jejak beberapa orang yang lebih yang ada didepanku. Tak peraya,”
inikah yang harus aku hadapi”ucap ku kembali dalam hati. Puluhan anak tangga
yang terbentuk dari tanah itu sungguh menyulitkan kami, khususnya aku, selain
licin karena diguyur hujan beberapa waktu lalu, bentuknya yang berundak-undak ditambah
juga dengan beban yang menggelayut dipundakku sehingga beberapa kali sempat membuat
badanku condong kebelakang dan hampir
terjatuh. Kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal karena disisi kiri kami
adalah tebing yang curam dan Cuma di jaga oleh seutas tali, tak terbayangkan
jika aku terpeleset, dengan beban berat yang bisa membawaku terseok kedalam
jurang itu, maka dengan sangat hati-hati ku langkahi anak tangga tanah itu
sambil sesekali berpegangan pada tali-temali yang dijadikan pembatas serta alat
bantu bagi para pendaki untuk melintasi anak tangga yang licin itu. Mungkin hal inilah
yang dikatakan Tio temanku
bahwa apapun bisa terjadi dialam, kita tak pernah tau alam akan berbuat apa
pada diri kita. Maka tak terpikirkan olehku, dan sungguh sangat pedih perjalanan yang kulaui
untuk pendakian pertamaku ini. “tujuan dari pendakian ini adalah untuk pulang”
begitu ujarnya menghibur kami, aku terhenyak dan sedikit berfikir, “benar juga
apa yang dia katakana, pulang adalah tujuan akhir dari perjalanan kami” ucapku
dalam hati.
Lumpur tanah yang licin masih terus kami tempuh,
anak-anak tangga itupun masih tetap siaga untuk disinggahi oleh tapakan para
pendaki, beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki yang turun dari pendakian
mereka. Tersenyum dan saling sapa, hanya itu yang kami lakukan. Sepatu Skets
yang sedari tadi kupakai sudah terasa begitu berat, karena bagian bawahnya
sudah terisi padat dengan tanah dan beberapa helai rumput yang menempel,
berjejalan disetiap sudutnya, ingin rasanya ku berhenti untuk sekedar
membersihkan tanah-tanah itu, namun rasanya tanggung karena tinggal sedikit
lagi anak tangga yang harus ku lewati, dan yaapppp, kami berhasil melewati
lintasan berlumpur itu, segera ku duduk untuk beristirahat sejenak , membuka
sepatu, dan membersihkan bagian bawah yang tertutup tanah dengan batang pohon.
Haappp… sepatuku ringan kembali. Jika dipikir ulang, Aku dan beberapa orang
temanku yang lain masih bisa dibilang beruntung karena kami hanya membawa
barang pribadi keperluan kami, karena berbeda dengan teman dari Tio yang
harus membawa beban tambahan berupa tenda dan alat untuk masak yang
mungkin berat bebannya bisa dua kali lipat dari milik kami. Waaaww.. luar biasa mereka.
Hingga akhirnya aku disini, ditanjakan
bebatuan itu, lumpur tanah berhasli ku lalui, jalur licin berhasil
kujinaki, namun di tanjkakan bebatuan
ini aku jatuh terkulai, lelah dan sesak, nafasku terus diburu. Pandangan mataku
terasa gelap,sendi-sendi kakiku tak terasa hingga sempat keram dibagian betis
dan jemari kakiku, tas ransel yang
membelengguku selama ini tak ku pikirkan lagi keberadaannya karena ia sudah
kubuang jauh-jauh. Seketika ku ambil obat sesak nafas yang ada didalam kantung
jas hujanku, dan langsung meminumnya “Hoosshh.. hoosshh.. hoosshh..” nafasku
terengah-engah.. ingin ku menyerah dan menyudahi perjalanan ini.Namun kawan jika kubayangkan wajahnya, jika ku ingat lagi
senyumnya, ada tenaga magis yang masuk dalam tubuh, bahkan kepersendianku.
Bukankah ia yang selama ini menyemangatiku, hingga aku tak menyerah untuk
menunggu, ia yag berkata kalau aku tak sendiri, hingga aku masih tegak berdiri.
Aku kemudian bangkit dari rebahku , kaki
kuluruskan, nafas dan detak jantung mulai kurapikan, ku tarik nafas panjang
“Haaaapppppppppp……..” ku buang perlahan “Ffffuuuuuuuuuuuuhhhhhhhh…” setelah
melakukannya beberapa kali mereka pun berdamai,
namun mataku masih terpejam, keringatku bercucuran, dingin, “Hooosssshh..
hooossshhh…” Tak lama kak Iswandi
mendekat, tersenyum “Ayo akhi.. antum bisa, antum kuat, mereka sudah diatas,
kita harus menyusul mereka, sedikit lagi, kita akan sampai di pos pertama”
ujarnya sambil tersenyum. Kubuka mataku, dan ikut tersenyum, “ya kak, Bismillah,
ayo kita maju lagi” ucapku singkat, kak Iswandi membantuku , untuk bangkit dan
kembali bergerak, seraya berjanji untuk mengalahkannya. Tebing bebatuan it.
Bersambung.....
0 komentar:
Posting Komentar