Kereta yang kami tumpangi malam itu melaju kencang, dengan
kesepian didalamnya. Hanya beberapa orang saja, ya benar hanya beberapa orang
saja selain rombongan kami yang berada digerbong itu, setelah sebelumnya aku
dan adikku udin menerjang hujan badai saat mengantarku menuju stasiun Sudimara
Jombang. Disana cukup lama aku menunggu, kebisingan penyiar locket, ramainya
orang yang mengantre tiket bergantian, dan puluhan orang yang hilir mudik
sekedar ingin naik atau baru turun dari kereta. Tas ransel besar yang sedari
tadi menggelatut di punggungku segera saja aku turunkan, kiri kekanan kutengok,
barang kali sudah ada dari kami yang sampai disini. Cukup lama, setelah azan
isya Akhirnya berkumandang barulah satu persatu dari mereka bermunculan,
Lingkar Al-Banna, kelompok Halaqoh kecil milik kami. Ridho, reza,
tio dengan beberapa kawannya dan Aaahh kak Iswandi menyusul hadir ditengah-tengah kami. Tinggal satu orang lagi, katanya iya sedang menuju kami, “Lagi di pndok ranji, mau kearah sini tungguin aja sebentar lagi” ucap tio Menenangkan. “Sholad dulu aja yuk akh, sambil nunggu Dede” pinta Ridho, aku Reza dan Kak iswandi menurut, dan langsung menuju musholah yang tak jauh dari tempat kami berkumpul untuk sembahyang memenuhi kewajiban kami.
tio dengan beberapa kawannya dan Aaahh kak Iswandi menyusul hadir ditengah-tengah kami. Tinggal satu orang lagi, katanya iya sedang menuju kami, “Lagi di pndok ranji, mau kearah sini tungguin aja sebentar lagi” ucap tio Menenangkan. “Sholad dulu aja yuk akh, sambil nunggu Dede” pinta Ridho, aku Reza dan Kak iswandi menurut, dan langsung menuju musholah yang tak jauh dari tempat kami berkumpul untuk sembahyang memenuhi kewajiban kami.
Isya Berlalu, akhirnya yang kami tunggupun datang, iya
berjalan dari tempat pemberhentian kereta diseberang sana, dengan stelan kemeja
khas Pendaki gunung, membawa ransel besarnya dengan mantap. “Assalamualaikum,,”
sapanya pada kami “Wa’alaikum salam..” ucap kami dan langsung berjabat tangan, ,
“Udah semua akh Tio?” Tanya Kak Iswandi padanya “Insya Allah sudah kak, tinggal
nunggu kereta saja” jawab tio dan langsung memberikan Kartu dan tiket kereta
tujuan kami nanti. Setelah itu kamipun
masuk melewati pintu otomatis, perlu kartu untuk mengaktifkannya, jujur saja
ini adalah pengalamanku yang pertama kawan, masuk kepintu stasiun menggunakan
kartu, cukup lama kami berdiri, karna yang kami tunggu tak jua muncul
kehadirannya “Kira-kira jam berapa kita berangkat akh tio?” Tanya kak is lagi
“Insya Allah jam 10an kak, nah itu keretanya datang ayo..” kamipun segera mengangkat barang bawaan kami
“Jangan ada yang ketinggalan ya,, tiketnya jangan sampai hilang..” ucap Tio
mengingatkan kami. Aku langsung naik, tapakan langkahku yang pertama penuh hawa
magis buatku, ini adalah pengalaman pertama untukku, aku tak bisa mundur lagi,
Optimis aku bisa melaluinya, walaupun jujur saja jika dirasa-rasa aku tak akan
mampu kawan. Hal itu selalu membayangiku, Gunung Prau, bagaimana keadaan
disana, cuacanya, jalur pendakiannya, tanah yang becek, bebatuan dan pepohonan,
jas hujan dan ransel yang kubawa, semua menjadi satu dalam benakku. Hingga tak
perlu waktu lama, kereta kami telah sampai di statius Senen “Cepat sekali”
ucapku dalam hati. Dan itu bertanda, petualanganku baru akan dimulai dari
sini, kereta malam yang kami tumpangi
sampai di stasiun senin, untuk nanti menuju Stasiun Purwokerto, Jawa Tengah.
Aku berlari kecil sambil menggendong tas ransel besarku
karena kereta tujuan kami akan segera berangkat, Dede perkirakan ukuran task u
itu adalah kurang lebih 70 liter, isinya
dua buah air mineral ukuran 1,5 liter, pakaian ganti, alat sholat, peralatan
mandi dan makan, senter, obat-obatan, power bank, logistic, sepatu, matras, sleeping
bag, dan paling atas yang ku letakan adalah Jas Hujan. Maka kau perhitungkan
sendiri kawan berat beban yang ada di pundakku, aku terengah-engah, nafasku
terasa sesak, namun aku berhasil sampai
di loket, dan disana menunggu seorang petugas yang ingin melihat tiketku, aku
panic, karena aku lupa menaruh tiket yang tadi sudah diberikan Tio olehku,
kuperiksa semua saku yang hinggap ditubuk, celana sebelah kanan, sebeah kiri,
dan belakang, tidak ada, di sweater kiri dan kanan, pun tak ada, di dompet juga
tak ada, panic aku membuka tas ransel milikku, juga tak ada, “Gawaatt,, dimana
tikaetnya..” rasa panic telah membutakan mata, namu satu orang yang setia
menungguku didekat petgas itu “Caria pa akh??” ucap kak Iswandi “Tiket kak,, “
ucapku singkat.. “Itu keresek siapa?” tanyanya, “oh iya punya kakak itu,”
jawabku, segera ia ambil dan membuka kresek itu untuk melihat pada bagian
dalamnya “Ini bukan akh” ucapnya sambil menjulurkan secarcik kertas yang saat
itu sedang aku cari “Alhamdulillah.. terimakasih kak..” segera ku bangkit,
menggendong tas, dan memberikan tiket itu kepetugas untuk di stempel, aku baru
ingat, rupanya tiket ku tadi ikut masuk bersamaan dengan botol mineral milik
kak iswandi yang sebelumnya aku masukan kedalam kresek. “Ayo akh sdah ditunggu..”
ucap kak iswandi, aku tersenyum dan kembali melaju menyusul yang lain, “Baru jalan cepat saja sudah terasa begini,
apalagi nanti saat pendakian” pikirku pesimis. “Antum gak apa-apa akh..” ucap
akh ridho, memastikan keadaanku”Insya Allah gak apa-apa” ucapku santai, namun
masih dengan nafas yang diburu. Dan kereta itu, aha elok bukan buatan, ular besi itu berkilau kuning kemerahan. Yang
kurasakan hanya satu, Deg-degan, karna kuingatkan diriku bahwa aku tak bisa
mundur lagi, tak bisa pulang, tak dapat kembali, ini adalah langkah awal
bagiku, dengan satu kebersamaan bersama mereka, Mt Prau pasti akan berhasil ku
tuju, membawa nama itu kesana.
0 komentar:
Posting Komentar