Minggu, 19 Oktober 2014

Rental PS : Bagian 4


Alasan mengapa ayah marah saat itu baru terjawab ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMP, satu ungkapan dari seorang penjaga sekolah tertancap dihatiku kala itu, “Main PS itu gak haram, yang Haram itu uangnya” ucap Almarhum Bang Ismed, salah satu penjaga sekolahku saat SMP dulu, Uang Haram, kata-kata itu sangat menyakitkan. Pun aku tak mengeluarkannya sepeserpun untuk bermain PS , Namun tetap saja maknanya begitu menyakitkan buatku. Aku terdiam , sedangkan ayah masih berkhutbah dihapadapku “Bukannya Ngaji malah main PS.. Pulang..!!!” aku lagi-lagi hanya bisa terdiam, bibirku kelu, badanku gemetar, keringat dingin kurasakan menjalar di sekujur tubuhku, bulir-bulir bening yang sedari ku tahan keberadaannya mulai tampak dipinggir mataku, pun kupon kesepuluh yang berhasil kudapatkan hari ini, yang awalnya sangat berharga dan berarti bagiku, kini kurasakan tak berarti apa-apa, dan terhempas begitu saja
dari genggamanku yang kuat tadi. sementarta sorot-sorot mata yang berada disana terus memandangiku, sinis, namun ada pulang merasa kasihan, seakan berkata “Duh bocah, kasihan sekali kau, ketahuan bolos mengaji, di rental Playstation, pasti gara-gara mau ngumpulin kupon PS” atau ada lagi “Emangnya enak dimarahin, badung si, Kecil-kecil udah main PS gedenya mau jadi apa “ terus saja mereka seperti itu.. “Mau pulang gak..!!! “ bentaknya keras sekalilagi, aku masih mematung berdiam diri, sebelum akhirnya tangan kasar yang menjadi tulang punggung keluarga kami sebagai penjual Bakso kala itu, mulai menggapai tanganku, “Pulang..” Ucapnya paksa, sambil terus menarik-narik aku untuk ikut pulang bersamanya, wawan seketika menghentikan permainannya , yang lain tak menghiraukan apa yang sedang terjadi dan kembali disibukan oleh aktivitas mereka yaitu menunggu di Rental PS yang menyengsarakan itu. Ia kini tak mampu berkata-kata, tak mampu merayuku agar mau tinggal di tempat itu beberapa menit lagi untuk menemaninya, apalagi merayu ayahku untuk tidak berlaku kasar padaku. Ini yang ku sebut kacang lupa pada kulitnya, atau habis manis sepah dibuang. Karna telah kupandang ia sahabat terbaikku sejak dulu, namun kini ia adalah orang yang membawaku kepada kesengsaraan terpahit dalam hidupku.

Ayah, sedikit berbeda dengan Ibu, ia adalah sosok laki-laki yang paling sabar yang pernah kukenal, tak pernah sekalipun ku dengar ia berteriak memarahi anak-anaknya, namun saat itu wajahnya ia palingkan dari hadapanku, tatapannya penuh amarah, tak terkesan Bangga padaku, seperti saat aku membantu pak Ujang saat merenovasi rumah dulu, Cengkramannya keras, kurasa kuat menempel di lenganku, sampai beku kurasa denyut nadi yang ada didalamnya, belaian hangatnya ketika aku terjatuh dari lantai dua kini tak kurasakan lagi. Keramahannya saat membimbingku menggambar ikan-ikan kecil di buku gambarku dulu tak terlihat lagi. Ia murka pada anak yang bolos mengaji untuk bisa bermain PS di rental Haram itu. Bahkan, saat sandal jepit kesayanganku putuspun tak hiraukannya, ia terus saja menyeret-nyeretku dimuka umum, Tukang ojek, pelayan warteg, penjaga warung, dan beberapa orang yang berlalu lalang disampingnya terus menonton, memandangiku, mereka mungkin iba, dan berfikir Ayah jahat dan kejam padaku. Dimarahi, diceramahi, dibentak-bentak dimuka umum, malu dan sesak skali rasanya kawan. Ingin rasanya ku berteriak, menangis, karna beberapa buah pecahan beling tertancap dikakiku kawan, namun tak bisa, karna bibirku sudah terlanjur kelu, tetesan bening itu deras mengalir membasahi pipiku, isak tangis hanya sesekali ku keluarkan, berharap ia hilang bersamaan dengan suara kenalpot dari beberapa kendaraan yang lalu lalang didekat kami. Tetesan darah sudah tak terhitung lagi, ingin ku berkata pada ayah, memohon maaf atas kesalahanku, dan ingin ku tunjukan luka perih yang ada di telapak kakiku, tapi lagi-lagi bibirku kelu kawan, kaku seperti tersuntik sesuatu. Hingga akhirnya kami tiba dirumah aku baru bisa menyeka air mata yang masih terus mengalir di wajahku, dan darah itu tak terlihat lagi, karna senja telah berlalu, dan gelapnya malam mulai menyapa, cairan merah itu tak terlihat Nampak, namun rasa perih itu masih dapat kurasakan dengan sangat jelasnya.

Satu hal yang kupikirkan dan yang aku renungkan, kalau bukan kebodohanku sendiri aku tak mungkin menanggung malu dimarahi Ayah sepanjang jalan. Dan kalau bukan karna ketegaran hati aku mungkin sudah berteriak saat beling-beling itu tertancap dalam pada tapak kakiku, dan yang paling penting dari semua ini adalah Ayah, mesipun ia memarahiku sejadi-jadinya, menyeret-nyeretku saat memaksaku pulang, ia tak pernah memukulku, tak pernah kawan, dan Ibu, meskipun ucapannya kadang menyakitkan hati, Ceramahnya yang sering menyinggung perasaan kami anak-anaknya yang bandel dan tak bisa dinasihati, namun lihatlah ia yang kini berada dihapanku sekarang, ia sedih, airmatanya terurai, melihat tapak kaki sang anak yang dicintainya berlumuran darah, membuang sedikit-demi sedikit beling-beling kecil yang tertanam disana penuh dengan Cinta dan Kasihnya, mengobati kakiku dengan ramuan ajaib terbalut perban yang ia beli sendiri, langsung dari Apotik yang dulu sering ku jadikan tempat mencari hewan Undur-undur untuk makanan ayam-ayam kami. Mereka begitu menyayangiku, selalu mencintai kami anak-anaknya yang suka berbuat dosa pada mereka. Kami sering membentak, kami tak patuh, tak mendengarkan sedikit permintaan mereka pada kami, doa-doa kecil yang mereka ucapkan adalah keberkahan bagi kami, perhatian dan kemarahan mereka adalah bukti cinta Kasih mereka pada kami, dan senyum serta tawa mereka menjadi Keredhoan Allah kepada kami. Dan Rental PS itu kawan, sejak malam itu ku bersumpah tak akan pernah lagi kutapakkan kaki disana, meskipun wawan manghadiahi ku sepuluh kupon sekaligus, aku tak akan sudi menerima tawaran menyengsarakan itu

0 komentar:

Posting Komentar

 
;