Minggu, 26 Oktober 2014

Sebuah Pertemuan :Bagian 2


“Life Must Go On” kalimat itu jelas-jelas tertera pada sebuah bingkai kaca yang hampir setiap pagi ku pandangi sebelum memulai aktifitas dalam bekerja, bersama beberapa pemberian darinya yang masih aku simpan, lengkap dengan sepucuk surat kecil buah karyanya yang mulai dimakan usia. Bingkai itu bentuknya sederhasa saja kawan, kotak dan memiliki penyangga pada bagian bawahnya, bagian bawahnya berhiaskan binatang Guk-guk dan pada bagian atasnya berhiaskan tulisan “Life Must Go On” yang ku bilang diawal tadi, satu hal yang tak aku begitu suka adalah warnanya yang kemerah jambuan, lebih cocok untuk anak perempuan seharusnya, tapi tak mengapa, karna bagiku itu adalah pemberian darinya yang berharga, bagian tengahnya bening, sudah jelas difungsikan untuk menaruh sebuah foto disana, dan sudah jelas wajah sendu dan senyum menawan itu berhias disana. Senyum yang selalu memberiku semangat dalam menjalani hari-hariku. kini senyum itu berada
disana, tepat disampingku, saat malam pertemuan kembali aku dengannya, dan semua bukan tanpa alasan Allah mempertemukanku kembali dengannya. Malam itu.. ya Malam itu.. masih ku ingat awal dari segalanya.

Malam itu, beberapa hari setelah mereka berhasil membuliku habis-habisan, Udin merencanakan untuk mengadakan bakar-bakar dirumah Pak Unang, pesertanya ya kami Ini. Jujur saja kawan, aku masih tersinggung dan sakit hati atas apa yang mereka lakukan beberapa hari yang lalu padaku. Maka sudah ku putuskan, apapun yang terjadi aku tak akan datang ke acara mereka. “Bakar-bakar yuk..” ucap udin, “Ayo.. dimana?” Sahut Mas Joko.. “Dirumah pa unang ajah..” balas udin lagi, “Bang Modus ikut gak, tar malem, ..” Tanya Udin pada Mud’is, “Insya Allah.. “ ucapnya. “Ah paling dia mah gak mau ikut..” sahut mas joko. Aku masih diam tak menanggapi dan Fokus pada pekerjaanku siang itu “Bakar apa bang udin…?” Tanya mba neneng, “Bakar apa kek, bakar jagung boleh..” jawab udin kembali “Om rohman ikut ya..” ucap vitri, dari semua yang ada disitu hanya ia yang perhatian padaku, aku tersenyum dan menjawab “Insya Allah” .. setelah itu tak ada lagi perbincangan ataupun keramahan seperti biasanya, suasana sepi dan hening, karna aku masih terdiam, senyum tak terhias diwajahku, diwajah kami, karna semua yang berada disitu merasa bersalah padaku, dan beginilah aku kawan, ini adalah salah satu sifat jelekku, bagiku DIAM adalah salah satu cara agar aku bisa meredam emosi, meskipun sadar atau tidak sadar aku telah memeberikan contoh yang tidak baik kepada mereka, namun kurasa mereka sudah mengerti tentang keadaan yang menimpaku .
Aku tau nasib mereka mungkin lebih baik dariku, sehingga hari itu mereka bisa sebegitu bahagianya, , menunggu dengan memegang janji selama beberapa tahun, menelan cercaan, hinaan dan ejekan dari teman-temanku, menahan rasa rindu, hanya mampu memandangi wajahnya di bingkai kaca yang selalu menatapku sambil tersenyum, rasanya sakit.. sakit sekali, dan itu bukan perkara yang mudah. Namun bukankah aku selalu berusaha untuk tersenyum dihadapan mereka untuk menyembunyikan segala bentuk dukaku. Berusaha semangat menghadapi tantangan demi tantangan yang hadir di setiap hariku, dengan Merasakan kehadirannya disampingku, menatap senyumnya setiap pagi, dan selalu membawa namanya kemanapun ku pergi. Cuma itu yang bisa ku lakukan. Hingga tak terasa, Acara yang direncanakan oleh Udinnpun siap untuk dimulai.

Sejak sore hari setelah pulang kerja, udin telah sibuk mempersiapkannya, jagung, arang, panggangan, dan beberpa bahan pelengkap seperti blueband dan lain-lain ia siapkan dengan matang, tapi aku acuh saja, tak mau menanggapi begitu banyak atas apa yang akan dia lakukan. Aku masih duduk terpaku, menatap layar Televisi disore hari, menuju azan maghrib hingga ke isya, tak banyak yang ku lakukan. Hari ini kurasa badanku lelah, pikiranku keruh, keruh akan bayang-banyang nama dan wajah itu, rasa sesak seketika datang tertuncap didadaku, sedih sekali rasanya, namun airmata masih dapat ku bending. Dan selepas Isya Udin bersiap, ia membawa semua perlengkapan yang ia siapkan sejak sore hari kerumah ak Unang bos kami. “Man ayo..” ucapnya padaku, seakan memberikan tawaran yang menarik untukku, aku masih saja bersikap acuh dan menjawab dengan seadanya “Duluan ajah,..” karna sudah ku benamkan dalam hatiku kalau aku tidak akan pergi ke acara yang mereka buat. “Ya udah..” ucapnya lalu berlalu. Aku kembaliasik dengan aktivitasku menonton acara ditelevisi. Tak lam ku dengar suara dua bocah kecil memanggilku dari luar “Assalamualaykumm.. Om Rohman.. Om rohman..” ahh siapakah itu,? Sepertinya ku kenal.. “Hana?? Ngapain??” Rupanya yang datang adalah Hana dan Hayyan, dua kaka beradik yang tak lain adalah anak dari Bos ku “Om Rohman ditunggu Abi kerumah.. ayoo.. yang lain udah pada dating..” Ahh bocah ini, tau apa mereka “Iya nanti om nyusul,, duluan ajah..” ucapku saambil tersenyum.. “Ohh ya udah, ditunggu ya Om..” ucap mereka sebelum akhirnya mereka pergi untuk pulang. Aku sekilas bingung, apa yang harus aku lakukan, saat mereka menungguku masih saja aku putuskan untu menuruti egoku, bahkan ajakan dari dua buah malaikat kecil yang memiliki kecerdasan itu aku belum mampu untuk mengikutinya. Namun semua sudah terlanjur, mataku sudah terlanjur gelap, sudah ku tanamkan dalam hati kalau aku tak akan pergi kesana, apapun yang terjadi, aku tak mau bertemu dengan muka-muka yang telah membuat hatiku sakit. Aku kembali menonton Tivi, cukup lama hingga akhirnya suara mereka terdengar kembali “Om rohman.. Om rohman”.. ahh mereka lagi . “Iya..” aku bangun, membuka pintu dan.. “Mba neneng..?” mengapa dia yang datang.. “Om ayoo.. kita bakar-bakar, gak enak ditungguin pak unang sama yang lain..” ucapnya, aku masih diam, “iya om ditunggu Abi sama kak haidar.. mas joko, mba vitri.. banyak dah..” ahh bocah ini..
“Ya udah duluan…” aku seperti bukan diriku, baru kali ini ku tarik ucapan dan keteguhan hati yang sedari tadi ku pegang dan ku tanamkan dalam-dalam pada diriku. Namun bocah itu,,, aahhh.. Hana.. maka aku akhirnya pergi bersama mereka untuk mengikuti acara itu, mereka ku pinta untuk jalan terlebih dahilu karna aku ingin berbenah dan mengganti baju. Dan tempat dari acara itu tak jauh dari rumahku kawan, jadi aku cukup melangkahkan kakiku, melengos kebelakang rumah, melewati beberapa tikungan untuk bisa sampai kesana. Tak perlu waktu lama, aku sampai dan langsung ku menemui pak unang, karna tadi Hana bilang pak unang menungguku, namun bukannya pak unang yang ku temui tetapi sosok lain yang berada disana, seorang wanita berkerudung ungu, dduk bersama mba neneng dan Vitri, sebuah kacamata berhias dibola matanya, dan kau tau kawan, sepertinya aku mengenalnya. Ya, dialah wanita yang hampir selama 5 tahun aku nantikan kehadirannya, dalam setiap doa-doa yang aku panjatkan pada-Nya, dia yang senyumnya selalu memberikanku semangat, dia yang selama ini membantu megajariku bagaimana menjadi orang yang sabar, menjadi orang yang kuat dalam menjalani hidup, dia yang membuatku mampu untuk bertahan, kini ia berada disini. Dihadapanku, jantungku tak kuasa berdebar kencang, aku terkejut, kaku, tak mampu berkata apapun, sementara vitri dan mba neneng sedang asik bersamanya duyduk mengobrol disana, dia, astaga, dia telah datang lengkap dengan senyumnya. Malam itu , Allah telah mengabulkan doa-doaku agar mau mempertemukanke kembali dengannya walau Cuma satu kali, dan walau Cuma sebentar. Pertemuan itu, masih berbekas dalam benakku hingga kini, dan apapun yang terjadi nanti setelahnya biar Allah yang menentukan, doaku untuknya agar Allah selalu memberikan yang terbaik untuknya, untuk kehidupannya,, dan doa untuk Sebuah Pertemuan selanjutnya, pertemuan yang tak mungkin aku berpisah kembali dengannya, Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;