“Tak pernah kusangka aku akan jadi korban kejahatan yang mengerikan.
Pun tak pernah kuduga, otak kejahatan itu, dan begundal-begundal
suruhannya, adalah kawan-kawanku sendiri. Di ruang pucat ini, teori
bahwa kekejaman sering dilakukan orang-orang terdekat, terbukti. Darah bersimbah-simbah dari mulutku. Ia panik. Aku menangkisnangkis.
'Pegangi dia! Pegangi kuat-kuat!" Lenganku direngkuh dua lelaki kasar.
Aku terbelalak kesakitan, menggeUnjang-gelinjang."Kamu! Ya,
kamu, masuk! Tangkap kakinya!" Seorang pria sangar menghambur. Ia
memeluk kakiku. Kukais-kaiskan tumit untuk menerjang. Seorang pria lain,
tanpa diperintah, meloncat. Ia menindihkan tubuh gempalnya di atas
lututku, liat bermmyak-minyak. Aku tak berkutik. Ngilu memuncak ke
ubun-ubunku. Ia memaksaku dengan metode yang tak dapat disebut
terhormat. Hampir dua jam aku teraniaya. Maka terbongkarlah siapa dia
sebenarnya: perempuan yang mampu menggerakkan orang untuk
menuruti
niatnya meski niat itu mengerikan, fokus pada tujuan, sistematis, dan
keras seperti kawat. Namun, sekuat apa pun berusaha, ia belum
mendapatkan secuil pun maunya. Aku tersengal. Kutantang matanya, ia
mengadu tatapku, berapi.
Aku telah mengalami banyak hal
menyakitkan. Sejak kecil, sedap segi dalam hidupku mesti diperjuangkan
seperti perang. Menyerah adalah pilihan yang menghinakan bagiku. Tak
pernah aku takluk pada apa pun tanpa lebih dulu berjibaku. Tapi aku juga
kenal benar perempuan ini. Ia hanya mau berhenti beraksi jika merasa
menang Ego adalah gunung dalam dirinya, dan kini egonya itu longsor. Tak
ada opsi lain baginya selain membekukku. Karena apa yang terjadi di
sini adalah timbangan martabatnya, taruhan harga dirinya. Ia harus
membayar setiap sen ragu orang atas kuasa yang ditumpukan padanya,
karena pilihan nekat hidupnya. Maka semua ini pasti akan berakhir dengan
buruk, berantakan, berdarah-darah. Nanti akan kuceritakan kepadamu,
Kawan, tentang perempuan yang membuatku menanggung cobaan nan tak
tertanggungkan itu.”
Mataku terkantuk kantuk membaca novel Kak
Andrea yang berada dalam Hp Smartphoneku , kubayangkan jika seandainya
nasib yang dialami oleh kak Andrea dalam novel itu juga akan menimpaku,
“cobaan nan tertanggungkan” tentunya, pun kini, ku lirik sedikit
detik-detik waktu yang berada dalam handpone ku yang satunya “Jam
Delapan” namun antrean panjang juga belum berakhir. Mobil-mobil ber-plat
kota Jakarta masih sibuk antre memanjang, dihadapan tiga buah bola mata
yang sewaktu-waktu dapat berubah warnanya, sebentar-bentar kuning,
sebentar-bentar hijau, dan berlama-lama ia memerah, malam hari, hujan,
di tengah jalan kota Jakarta yang penduduknya masih ku nilai Angkuh. Hal
ini sudah ku perhitungkan sejak awal, sebelum keberangkatanku siang
tadi, namun apa daya, aku tak bisa meyakinkan mereka bahwa perjalanan
yang akan ku tempuh ini adalah perjalanan panjang. Tak tau kah mereka
aku telah mengalaminya lebih dulu, pengalamanku tentu bisa
dipertimbangkan, namun ya sudah, tugas adalah tugas, aku berangkat
dengan hal yang sedikit mengganjal dihati “Pulang Jam berapa nanti”,
hanya dalam hati. Pun mobil telah siap, sebagian barang telah berhasil
naik keatas mobil. Sialnya aku tak tau bahwa kepergian ku untuk bertemu
Klien dibarengi dengan pengantaran sebagian barang dan Belanja kebutuhan
Produksi. Ini akan jauh lebih pahit dari yang ku duga “Emang mau kemana
ajah A..” ucapku pada sang sopir yang sekaligus kurir dalam kantorku,
“Mau ngantar barang, trus ngantar Om ke Ancol kan” ucapnya.. “Ohh..”
jawabku singkat.. “Sebentar ya om mau minta alamat dulu..” pintanya
padaku untuk sabar menunggu.. aku mengangguk tanda setuju..
Bagiku tak masalah jika memang harus begini, pun aku telah siap dengan
situasi apapun, dan selalu yakin Allah memberikan kemudahan bagiku agar
aku bisa menghadapi hari-hariku, pun terkmasuk hari ini. Tak lama ia
kembali dengan beberapa lembar uang peccahan lima puluh ribuan, bon, dan
alamat. “Kok ada bon segala..” pikirku dalam hati, tak tenang aku
bertanya “Mau belanja juga A?” tanyaku padanya, “Iya om, Cuma mau
ngambil barang ke pasar minggu sama ke Kota..” Ucapnya, matanku
terbelalak sedikit terkejut “Ngambil barang ke Kota,,,” situasiku makin
terjepit, ingin ku urungkan Ekspedisi ini, namun jika aku turun dan
melapor nanti aku dibilang banyak alasan, tak patuh, membangkang, atau
sebagainya, karna sebelumnya lewat perbincangan tadi aku dituntut untuk
BISA.. “jika aku bisa ya aku harus bisa”.. maka sekali lagi kuurungkan
niatku dan hanya merenungkan semuanya didalam hati.. menarik jauh
kebelakang “Dimana posisi ku” sedari dulu pertanyaan itu terus
membayangiku, bukankah semua aku telah coba, bukankah semuanya telah aku
lakukan, pun aku telah dengan sabarnya memberi pengarahan dan
bimbingan, tapi entah mengapa belum sempat ku tagih atas apa yang ku
minta semua terpental dan terbuang begitu saja. Kepercayaan terhadapku
mulai terkikis, segala ucapanku seakan tak berarti apa-apa, Aku
bingung.. hari ini selalu, dan selalu berbeda dari hari sebelumnya,
seterusnya begitu. Maka tak kala mobil dihidupkan, aku hanya berdoa agar
Allah mengantarku ketujuan dengan selamat dan sabar, hingga akhirnya
aku kembali nanti.
Kerasnya perjuangan untuk hidup di ibu kota,
membuat semua orang melakukan apapun yang mereka bisa, mulai dari
menjadi tukang sampah, juru parkir, pedagang asongan, kuli panggul,
pedagang Koran, dan masih banyak lagi. Tapi kerasnya itu kurasa hanya
dirasakan oleh orang pinggiran saja. Seperti yang ku kisahkan
sebelumnya, mereka ibarat semut-semut kecil diantara para gajah raksasa
yang sewaktu-waktu dapat menginjak mereka. Pun aku melihatnya sendiri
ketika rupiah demi rupiah itu dikumpulkannya dalam kemasan pelastik
bekas yang bentuknya sudah tak beraturan, menenteng apa yang bisa ia
tenteng demi memuaskan pelanggannya, wajah tua dan tubuh rentanya sudah
tak terpikirkan lagi, yang ia tau mungkin saat itu “Bagaimana cara agar
ia bisa memberimakan dan menafkahi keluarganya” aku terharu, teringat
ayahku, maka walaupun azan maghrib tengah berkumandang, masih mantap
kupandangi ia, setidaknya ia lebih mulia, tangannya lebih tinggi
derajatnya dari pada si miskin yang sengaja mengiba, si kaya berdasi
yang menguras habis uang Dunia, atau si Penegak Hukum yang dengan
seenaknya memberikan Tarif sebagai Pembebas Hukuman kami saat di TILANG
Nanti.
Bersambung..........
Jumat, 05 Desember 2014
Cerita Bersambung,
Cerita Pendek,
cerpen,
Potongan Kisahku,
Sebaris Ukiran Pena,
Tilang Episode 2 : Bagian 1
Tilang Episode 2 : Bagian 1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar