Jumat, 05 Desember 2014

Tilang Episode 2 : Bagian 1

“Tak pernah kusangka aku akan jadi korban kejahatan yang mengerikan. Pun tak pernah kuduga, otak kejahatan itu, dan begundal-begundal suruhannya, adalah kawan-kawanku sendiri. Di ruang pucat ini, teori bahwa kekejaman sering dilakukan orang-orang terdekat, terbukti. Darah bersimbah-simbah dari mulutku. Ia panik. Aku menangkisnangkis. 'Pegangi dia! Pegangi kuat-kuat!" Lenganku direngkuh dua lelaki kasar. Aku terbelalak kesakitan, menggeUnjang-gelinjang."Kamu! Ya, kamu, masuk! Tangkap kakinya!" Seorang pria sangar menghambur. Ia memeluk kakiku. Kukais-kaiskan tumit untuk menerjang. Seorang pria lain, tanpa diperintah, meloncat. Ia menindihkan tubuh gempalnya di atas lututku, liat bermmyak-minyak. Aku tak berkutik. Ngilu memuncak ke ubun-ubunku. Ia memaksaku dengan metode yang tak dapat disebut terhormat. Hampir dua jam aku teraniaya. Maka terbongkarlah siapa dia sebenarnya: perempuan yang mampu menggerakkan orang untuk
menuruti niatnya meski niat itu mengerikan, fokus pada tujuan, sistematis, dan keras seperti kawat. Namun, sekuat apa pun berusaha, ia belum mendapatkan secuil pun maunya. Aku tersengal. Kutantang matanya, ia mengadu tatapku, berapi.

Aku telah mengalami banyak hal menyakitkan. Sejak kecil, sedap segi dalam hidupku mesti diperjuangkan seperti perang. Menyerah adalah pilihan yang menghinakan bagiku. Tak pernah aku takluk pada apa pun tanpa lebih dulu berjibaku. Tapi aku juga kenal benar perempuan ini. Ia hanya mau berhenti beraksi jika merasa menang Ego adalah gunung dalam dirinya, dan kini egonya itu longsor. Tak ada opsi lain baginya selain membekukku. Karena apa yang terjadi di sini adalah timbangan martabatnya, taruhan harga dirinya. Ia harus membayar setiap sen ragu orang atas kuasa yang ditumpukan padanya, karena pilihan nekat hidupnya. Maka semua ini pasti akan berakhir dengan buruk, berantakan, berdarah-darah. Nanti akan kuceritakan kepadamu, Kawan, tentang perempuan yang membuatku menanggung cobaan nan tak tertanggungkan itu.”
Mataku terkantuk kantuk membaca novel Kak Andrea yang berada dalam Hp Smartphoneku , kubayangkan jika seandainya nasib yang dialami oleh kak Andrea dalam novel itu juga akan menimpaku, “cobaan nan tertanggungkan” tentunya, pun kini, ku lirik sedikit detik-detik waktu yang berada dalam handpone ku yang satunya “Jam Delapan” namun antrean panjang juga belum berakhir. Mobil-mobil ber-plat kota Jakarta masih sibuk antre memanjang, dihadapan tiga buah bola mata yang sewaktu-waktu dapat berubah warnanya, sebentar-bentar kuning, sebentar-bentar hijau, dan berlama-lama ia memerah, malam hari, hujan, di tengah jalan kota Jakarta yang penduduknya masih ku nilai Angkuh. Hal ini sudah ku perhitungkan sejak awal, sebelum keberangkatanku siang tadi, namun apa daya, aku tak bisa meyakinkan mereka bahwa perjalanan yang akan ku tempuh ini adalah perjalanan panjang. Tak tau kah mereka aku telah mengalaminya lebih dulu, pengalamanku tentu bisa dipertimbangkan, namun ya sudah, tugas adalah tugas, aku berangkat dengan hal yang sedikit mengganjal dihati “Pulang Jam berapa nanti”, hanya dalam hati. Pun mobil telah siap, sebagian barang telah berhasil naik keatas mobil. Sialnya aku tak tau bahwa kepergian ku untuk bertemu Klien dibarengi dengan pengantaran sebagian barang dan Belanja kebutuhan Produksi. Ini akan jauh lebih pahit dari yang ku duga “Emang mau kemana ajah A..” ucapku pada sang sopir yang sekaligus kurir dalam kantorku, “Mau ngantar barang, trus ngantar Om ke Ancol kan” ucapnya.. “Ohh..” jawabku singkat.. “Sebentar ya om mau minta alamat dulu..” pintanya padaku untuk sabar menunggu.. aku mengangguk tanda setuju..

Bagiku tak masalah jika memang harus begini, pun aku telah siap dengan situasi apapun, dan selalu yakin Allah memberikan kemudahan bagiku agar aku bisa menghadapi hari-hariku, pun terkmasuk hari ini. Tak lama ia kembali dengan beberapa lembar uang peccahan lima puluh ribuan, bon, dan alamat. “Kok ada bon segala..” pikirku dalam hati, tak tenang aku bertanya “Mau belanja juga A?” tanyaku padanya, “Iya om, Cuma mau ngambil barang ke pasar minggu sama ke Kota..” Ucapnya, matanku terbelalak sedikit terkejut “Ngambil barang ke Kota,,,” situasiku makin terjepit, ingin ku urungkan Ekspedisi ini, namun jika aku turun dan melapor nanti aku dibilang banyak alasan, tak patuh, membangkang, atau sebagainya, karna sebelumnya lewat perbincangan tadi aku dituntut untuk BISA.. “jika aku bisa ya aku harus bisa”.. maka sekali lagi kuurungkan niatku dan hanya merenungkan semuanya didalam hati.. menarik jauh kebelakang “Dimana posisi ku” sedari dulu pertanyaan itu terus membayangiku, bukankah semua aku telah coba, bukankah semuanya telah aku lakukan, pun aku telah dengan sabarnya memberi pengarahan dan bimbingan, tapi entah mengapa belum sempat ku tagih atas apa yang ku minta semua terpental dan terbuang begitu saja. Kepercayaan terhadapku mulai terkikis, segala ucapanku seakan tak berarti apa-apa, Aku bingung.. hari ini selalu, dan selalu berbeda dari hari sebelumnya, seterusnya begitu. Maka tak kala mobil dihidupkan, aku hanya berdoa agar Allah mengantarku ketujuan dengan selamat dan sabar, hingga akhirnya aku kembali nanti.

Kerasnya perjuangan untuk hidup di ibu kota, membuat semua orang melakukan apapun yang mereka bisa, mulai dari menjadi tukang sampah, juru parkir, pedagang asongan, kuli panggul, pedagang Koran, dan masih banyak lagi. Tapi kerasnya itu kurasa hanya dirasakan oleh orang pinggiran saja. Seperti yang ku kisahkan sebelumnya, mereka ibarat semut-semut kecil diantara para gajah raksasa yang sewaktu-waktu dapat menginjak mereka. Pun aku melihatnya sendiri ketika rupiah demi rupiah itu dikumpulkannya dalam kemasan pelastik bekas yang bentuknya sudah tak beraturan, menenteng apa yang bisa ia tenteng demi memuaskan pelanggannya, wajah tua dan tubuh rentanya sudah tak terpikirkan lagi, yang ia tau mungkin saat itu “Bagaimana cara agar ia bisa memberimakan dan menafkahi keluarganya” aku terharu, teringat ayahku, maka walaupun azan maghrib tengah berkumandang, masih mantap kupandangi ia, setidaknya ia lebih mulia, tangannya lebih tinggi derajatnya dari pada si miskin yang sengaja mengiba, si kaya berdasi yang menguras habis uang Dunia, atau si Penegak Hukum yang dengan seenaknya memberikan Tarif sebagai Pembebas Hukuman kami saat di TILANG Nanti.

Bersambung..........

0 komentar:

Posting Komentar

 
;