Rabu, 19 November 2014

Bandrek


Tuntutan sebagai anak yang sudah lulus tamatan SMA dan setingkatnya, kalau tidak melanjutkan kuliah, ya harus bekerja, meneruskan perjuangan keluarga, belajar mencari, mengais, rizky dari-Nya yang maha pemurah. Bersyukur atas karunia-Nya segala sesuatunya bsa ku lalui dan ku dapatkan dengan mudah, seperti kisahku terdahulu kawan, saat aku terpaksa harus berhenti sebagai penjual minuman di salah satu gang ternama dekat rumahku, tak lama setelah itu aku masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk bekerja menjadi penjual ayam dan ikan bakar. Dan seperti yang kalian ketahui juga kawan, hari-hariku tak sekalipun ku lewatkan dengan berleha-leha, semangat menjalankan amanah dalam pekerjaanku. Setiap pagi ku kayuh sepeda bututku menuju komplek perumahan Safari yang juga tak jauh letaknya, untuk mengambil ayam, ikan, yang sudah diramu, lengkap dengan lalaban dan sample yang dibuat oleh Pembantu Boss ku.
''mas Rohman ya...'' ucapnya ketika aku baru sampai, ''iya mba,, mau ambil ayam sama ikan'' jawabku, ''oh iya, ini sdah saya siapkan, tinggal dimasukin ke plastik..'' jawabnya lagi, aku menurut saja dan langsung membantunya berkemas, menaruh semua keperluan jualanku pagi itu.. ''itu siapa mba,,?? Anaknya mas Amin??'' tanyaku, ketika meliat balita yang usianya ku taksir belum genap dua tahun, sedang berjalan pada mai a berodanya.. Tubug tambun dan putih itu ku tau diwarisi kedua orang tuanya, Mas Amin yang bertubuh besar, dan istrinya yang berkulit putih, cocok sekali. '' iya anaknya mas amin'' ucapnya singkat sambil memasukan beberapa potong ikan dan ayam yang sudah diolah. ''naanya??'' tanyaku lagi ''Egha'' ah singkat betul.. ''oohh.. Umurnya berapa tahun?? Ada dua tahun??'' tanyaku lagi, berusaha untuk bersikap akrab padanya ''iya segitulah mas kira-kira.. Kalau mas rohman tinggal dimana??'' kini dia yang berbalik bertanya padaku.. ''saya di Ceger, deket kampus STAN, tau kan??'' ucapku mencairkan suasana,, ''oh kampus STAN tempat mas Aamin Ngajar ya..??' ucapnya lagi, dan disambung lagi dengan ucapan-ucapan berikutnya, mengenai asalku, dan asalnya, usiaku dan usianya, seru sekali, dan makin akrab aku dengannya. ''ya udah mba, saya permisi dulu mau buka warung, sudah ditunggu kakak saya..'' ucapku mengakhiri perbincangan hari pertamaku bekerja.. '' iya mas rohma hati-hati'' balasnya dan langsung menutup pintu.

Mas amin yang ku tau pintar orangnya, tamatan STAN tapi tak tau tahun berapa, kabar yang ku dengar iya juga sempat menjadi dosen di STAN. Asalnya dari kota Pempek palembang. Wajahnya sedikit lonjong namun tetap gembul seperti tubuhnya, rambutnya hitam keriting, kawat gigi berwarna hijau toska memagari gigi-giinya '' supaya giginya rapih'' begitu lah kira-kira. Sama denganku, ia juga senag dengan musik, dan sering ku dengar ia menyanyikan lagu ciptaannya sendiri ketika warung sedang sepi. Uangnya tak perlu ditanya, , banyak kawan, makanya ia berani menyewa ruko itu 9juta rupiah untuk jangka waktu satu tahun, pun begitu iya loyal dan suka memberi. Istrinya cantik luar biasa, kulit putihnya sedikit menandakan kalau ia sedikit keturunan Tionghoa, rambutnya ikal panjang, hitam terurai, dan sama seperti mas Amin, ia juga lulusan STAN, mungkin beda satu angkatan kalau tidak salah. Mereka, kedua suami isteri itu sering sekali kulihat pulang bersama, tapi jujur saja kawan sering pula ku lihat ekspresi ketidak harmonisan rumah tangga mereka dari wajah dan sudut matanya, tapi entahlah, semua kuanggap misteri, dan tak mau kupikirkan lebih kauh, karna hal yang harus ku pikirkan saat itu adalah, bagaimana supaya warung ku ramai oleh pembeli, dan daganganku bisa habis terjual. Karna seperti yang ku perkirakan dari awal, hari pertamaku bekerja di tempat ini akan menjadi hari yang tidak mudah seperti hari-hari sebelumnya..

Sementara lihatlah lelaki tua yang berada tepat didepan ruko tempat aku berjualan, ia duduk bersabar, lengkap dengan sebuah Termos ES bertuliskan tebal disana ''BANDREK'' dan beberapa buah gelas kecil turut melengkapi. usianya ku perkirakan 50 tahun hal ini dapat terlihat dari helai demi helai rambutnya yang sudah berubah putih. Pun dengan kumisnya, dan jika ku pandangi ia secara terus menerus, ia seperti ''KOMPENI'' dalam film Pitung jagoan dari Tanah Betawi. Maka tak ayal aku dan amat kakakku memanggilnya dengan sebutan ''Grand Pa'' entah darimana sebutan itu berasal, dan spontan saja terlontar dari mulut kami. Setelah beberapa hari kuperhatikan ia beraksi, jam 7 malam menjelang isya ia segera mengeluarkan peralatan berjualannya yang ku sebutkan tadi, tak lupa bangku kecil yang terbuat dari kayu ia ikut sertakan juga. Setelah semua dirasa siap, selanjutnya yang ia lakukan hanya menunggu.. Ya kawan,, menunggu seseorang yang sudi dan mau membeli BANDREK buatannya itu. Satu jam, dua jam, Masih terus ku perhatikan ia, hanya menunggu, tengok ke kiri dan kekanan, berharap segera ia dapat pembeli. Dan nasib yang bisa dikatakan malang ketika berhasil ku hitung hanya ada 2 sampai 5 pembeli dalam sehari. Dengan harga 3000 rupiah per porsi, itu artinya hanya 15 ribu maksimal uang yang bisa ia kantongi tiap harinya. Malang sekali kupikir, untuk orang setua dirinya, harusnya kini ia bsa duduk tenang dirumah, mendapatkan perhatian kusus dari anak-anaknya, mendapatkan kasih sayang dari putra-putri tercinta, kehangatan keluarga, yang bisa menghangatkan hatinya, melebihi hangatnya jajanan BANDREK yang iya jual dimalam yang hampa tanpa pembeli, namun ia, masih tetap sabar menunggu dengan sabarnya, berharap ada satu orang saja yang mau membeli Ramuan Ajaib itu. BANDREK

0 komentar:

Posting Komentar

 
;