Sabtu, 15 November 2014

Kebakaran : Bagian 2


Lihatlah ia, kini hanya mampu duduk dalam bantuan kursi roda reotnya. Wajah dan kulit yang mulai mengkriput menghiasi dirinya. Rambut yang beruban, gigi yang sudah tak lagi sempurna. Direpotkan oleh anak cucu yang sampai saat ini blum bisa mandiri dan masih suka berpangku tangan padanya. Suaminya telah pergi mendahuluinya bbrapa tahun silam, dan kini sejak kejadian ia terjatuh dikamar mandi kedua kakinya tak bisa berfungsi dengan baik. Hari-harinya banyak ia habiskan di kursi roda itu. Miris aku melihatnya. Dialah bu haji Hamidah, wanita tua yang membangunkan kami tengah malam saat tragedi kebakaran beberapa tahun yang lalu. Entah kalau saja malam itu ia tak datang kerumahku aku tak tau nasibku sekarang. Mungkin aku tak bisa menikmati alunan musik di telingaku sambil menunggu kereta tujuanku sampai di stasiun pasar senin seperti sekarang. Atau tak
bisa ku berfoto-foto ria dengan sahabat-sahabat seperjuangan saat kami berkumpul tadi, atau lebih parah lagi kalau nasib hidupku sudah tak tertolong malam itu.

Butiran-butiran gerimis dingin bak salju yang turun mengenaiku kini sdah tak terasa lagi. Pun dengan hangatnya belaian kak Yanah, sudah tiada. Aku terbangun ketika tersorot lampu bercahaya keputihan, mataku masih terasa sepat, rasa lelah yang sedari tadi membebaniku juga belum hilang. Rupanya aku telah sampai kembali dirumah. dan malam tragedi yang mencengkam itu berakhir sudah, raut-raut ketakutan yang sempat menghantui kami berhasil kami usur. Semua orang , ibu, ayah, kakak dan adikku selamat dari musibah itu. ''Alhamdulillah..'' pekik kami. Dan kami bertanya-tanya sebenarnya apa yang telah terjadi? Mengapa semua begitu cepat? Tak ada peringatan, tak ada himbauan. Si jago merah melahap bangunan itu tergesa-gesa. Dan setelah dirasa kenyang, ia pergi, meninggalkan duka yang mendalam bagi si empunya, yang mungkin saat ini belum tau, kalau ruko kebangaannya sudah hangus termakan api. Aku tak sempat lagi melanjutkan tidurku, jam 5 pagi sudah ku duga terasa setelah azan subuh yang berkumandang. Ku perhatikan dalam-dalam wajah ibu, ayah dan kakakku, semua tersenyum meskipun jelas terlihat tanda lebam pada bagian bawah mata mereka, tanda kalau tak sedetikpun mereka tidur. Beberapa barang dan berbuntal-buntal pakaian yang semalam kami ajak untuk beradu lari terhampar begitu saja di tengah pintu.

Rasa penasaranku tak kunjung hilang terutama saat ku dengar berbondong-bondong orang berlarian kesana. Aku, amat, dan Epenpun ikut serta, tak mau kalah dengan yang lain. Garis kuning yang ku tau dibuat oleh kepolisisn setempat dipasang se area tragedi. Dua buah ruko yang terbakar itu kini sudah tak nampak lagi wujud dan keistimewaannya. Kebakaran itu tak menyisakan apa-apa selain beberapa karung beras dan bahan sembako lainnya yang terbakar hangus. Beratus-ratus bungkus mie instan tercecer dimana-mana, puing-puing genting yang terbakar, balok kayu yang sudah matang menjadi araang. Beruntung tak ada korban jiwa dalam musibah itu. Selebihnya, setelah kami tiba disana, pemandagan orang beramai-ramai dan berbondong-bondong masuk menyeruak, mengais sisa-sisa bahan sembako yang belum sempat terbakar habis. Penjarahan masal dari ruko yang sudah dipastikan tak akan terpakai lagi oleh tuannya terjadi siang itu, Dan jelas karakter dari kami, anak-anak yang selalu ingin tau langsung merangkak masuk, dan ''Waaaaahhhhh..'' rupanya mereka telah siap sedia, kantong-kantong kresek besar itu ku pandag tengah dipenuhi oleh bebungkus-bungkus mie dan detergen yang belum sempai terbakar.. Tak butuh alat khusus untuk mendapatkannya, yang diperlukan hanya keberanian, keberanian untuk menerobos garis polisi yang belum hilang kadaluarsanya, keberanian untuk masuk menapaki sisa-sisa reruntuhan yang mungkin mmasih nyala membara, keberanian bersaing dengan yang lain saat berebut mendapatkan sembako gratis yang sudah berbau asap itu. Epen tak ragu lagi, diambil olehnya plastik kresek menganggur yang belum terisi, ''haaapp..'' dan langsung saja semua tumpukan mie instan itu dimasukan olehnya. Mie instan yang sebenarnya sdah tak layak untuk dimakan, karna setelah engkau meramunya, dengan jelas rasa khas yang awalnya tertera dalam kemasan akan berubah, bercampur bau sangit bekas asap kebakaran semalam. Tapi hal itu tak berpengaruh bagi kami yang sudah terbiasa makan apa adanya, dan tak terhitung lagi berapa bungkus mie instan dan detergen yang masuk di kantong kresek kami. ''banyak baget..'' ucap ibuku ketika kami pulang dengan hasil beberapa kresek yang penuh dengan tumpukan mie instan. Berhiaskan wajah dan pakaian cemong kehitaman. '' mandi dulu sana..'' ucap ibu, kami menurut saja. Dan dinginnya air yang membasahi kami saat mandi mengingatkan kami akan Tragedi semalam, ketika guguran air yang turun dari langit hinggap ditubuh kami, menyentuh jiwa-jiwa ketakutan, menghapuskannya, menggantikannya dengan rasa tenag dan senyum kami.

~Selesai~

0 komentar:

Posting Komentar

 
;